"Misalnya dengan melaksanakan bimbingan teknis untuk para petani tentang tata cara pembuatan kompos. Kemudian kami juga mengadakan sekolah lapangan pengelolaan pertanian terpadu, pembuatan pestisida atau agensia hayati, dan upaya-upaya lainnya," beber Henny.
Pendidikan tinggi ditempuhnya di Universitas Indonesia (UI) dengan karyailmiah tentang masyarakat Samin (skripsi sarjana muda) dan masa akhir keruntuhan Hindia Belanda (skripsi sarjana). Ong kemudian melanjutkan pendidikan ke Yale University, Amerika Serikat, dan memboyong gelar doktor pada 1975 dengan disertasi mengenai dinamika hubungan antara priyayi dan kaum tani serta perubahan sosial di Madiun pada abad ke-19. Kampus UI menjadi tempatnya mengabdi hingga pensiun sebagai pengajar di jurusan sejarah.
Artikel bisa dimuat dalam rubrik Suara Kampus atau rubrik terkait lainnya. Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengubah isi. Naskah yang dimuat akan diberi imbalan. Artikel silakan kirim ke e mail: [email protected]
Henny menuturkan ke depan akan terus menyosialisasikan dan mendorong kebiasaan para petani agar menggunakan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik juga bisa mencegah berbagai kendala teknis yang biasanya terjadi saat menggunakan pupuk kimia. (OL-three)
Jadi, kombinasi judul bahasa Inggris dengan subjudul bahasa Indonesia bisa menjadi strategi yang efektif untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Bagian terakhir tulisan Achdian, yaitu “1965”, seharusnya tidak diletakkan sebagai bab “penutup”. Bagian ini justru merupakan awal dari “perkenalan” kita untuk membaca pemikiran Ong dan berdialog dengannya untuk memahami ke-Indonesia-an dalam dirinya. Kuncinya terletak pada paragraf terakhir buku ini, yakni cerita tentang Ong muda saat duduk di bangku sekolah menengah Belanda (HBS), Surabaya, dan dihadapkan pada sebuah dilema: memilih Belanda ataukah Indonesia.
Kini, Lewi tak lagi sering muncul di panggung publik. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kebunnya, mengajarkan anak cucunya cara membaca cuaca dari arah angin dan bentuk awan. Tapi warisannya telah menjadi nadi dalam kehidupan Krayan. FORMADAT terus hidup.
Sumber daya alam yang sangat melimpah menjadi potensi pengembangan pertanian yang merupakan sumber kehidupan mayoritas masyarakat kabupaten Dairi.
Sosok tua itu adalah Lewi G. Paru, lelaki bertubuh kecil namun berjiwa raksasa itu sebagaimana yang pernah saya baca, telah menulis sejarah hidupnya dengan tinta kehormatan dan dedikasi untuk tanah kelahirannya, Krayan.
Sejarah sebagai inspirasi, edukasi sekaligus revolusi dalam pemikiran dan tindakan tentang manusia sangat kuat terlihat dalam isi percakapan antara Ong dan Achdian. Keduanya telah menjadikan percakapan tentang sejarah dan berbagai persoalan mutakhir bangsa ini sebagai hal yang produktif dan kreatif. Baik Ong maupun Achdian secara tersirat menunjukkan bahwa berbagai masalah yang muncul di Indonesia hingga hari ini adalah karena kita melepaskan diri dari sejarah. Tak ada lagi ruang bagi sejarah sebagai cermin untuk memahami masa kini dan memberi pencerahan dari keruwetan di dalamnya.
Setidaknya ada dua wilayah studi sejarah yang ditekuni Ong, yakni sejarah sosial dan sejarah politik. Kedua wilayah ini selalu mewarnai hampir semua esai Ong sepanjang kariernya sebagai sejarawan dan Di Sini ilmuwan sosial. Fokus studi Ong ini menunjukkan bahwa dunia perdesaan Jawa sangatlah penting dalam memahami kolonialisme sekaligus dinamika yang terjadi di dalamnya menyangkut hubungan antarkelompok sosial yang ada, baik di tingkat elite maupun masyarakat.
Sejarawan ini selalu mencoba membagi pengetahuan yang dimilikinya tentang kesejarahan hingga ke hal-hal kecil atau dipandang sepele dan remeh-temeh seperti ketika dia berbicara ihwal tali-temali antara kolonialisme dan dapur, atau saat bertutur tentang pencurian gorden dan kaitannya dengan perjagoan serta kekuasaan. Dalam hal itu, seperti juga dipahami Andi Achdian, Ong seolah mengajak siapa pun untuk memahami sejarah agar tidak berhenti pada sebuah peristiwa semata yang tidak memberi makna atau kaitan apa pun dengan masyarakat atau kekuasaan. Dia juga menekankan pentingnya membaca sejarah dari “bawah” untuk memahami persoalan di tingkat elite atau lingkup kekuasaan yang lebih luas, seperti yang ditulisnya tentang fenomena bromocorah atau dinamika relasi priyayi-petani dalam politik lokal di Madiun.
Menulis novel dengan tema kuliner memungkinkan penulis untuk menggabungkan kecintaan pada makanan dengan seni penceritaan. Saat ini, banyak penerbit membutuhkan buku kuliner dalam structure fiksi maupun nonfiksi.
Berapa kata yang sebaiknya ada dalam sebuah judul? Ini adalah pertanyaan klasik yang sering diajukan penulis. Untuk membuat judul buku nonfiksi, idealnya judul terdiri dari one hingga 4 kata.